Meskipun begitu, menurut Dien Madjid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008), kebijakan politis terkait haji baru diterapkan secara menyeluruh pada tahun 1859 melalui aturan khusus. Aturan ini mengatur mekanisme penerimaan orang yang baru saja pulang haji dengan jelas. Mereka harus melewati serangkaian ujian dan jika lolos, mereka diharuskan menyematkan gelar haji dalam sapaan atau nama mereka.
Latar belakang aturan ini sebenarnya berasal dari ketakutan dan trauma pemerintah Hindia Belanda. Pada abad ke-19, banyak pemberontakan dipicu oleh orang-orang yang pulang dari haji. Salah satu pemberontakan terbesar adalah Perang Jawa, yang berlangsung dari 1825 hingga 1830. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda mulai memperhatikan dengan serius orang-orang yang pulang dari haji.
Kini sudah 79 tahun Indonesia merdeka, namun panggilan politis terkait haji masih tetap melekat. Arus dekolonisasi pasca-kemerdekaan tidak berhasil menghilangkan stigma tersebut. Meskipun demikian, tradisi pemberian gelar haji tetap menjadi bagian dari budaya Indonesia yang unik.